Arsip Blog

KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN MADRASAH


KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN MADRASAH
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag*
(Artikel ini telah dimuat dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol V, No.1.2008 )
A. Abstrak
Di Era Otonomi Daerah, madrasah tidak mengalami otonomi seperti halnya sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk Kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/kota adalah penyelenggaraan pendidikan. Padahal secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan Departemen Agama yang notabenenya tidak termasuk urusan yang diotonomkan ke daerah.
Meskipun pengelolaan madrasah tetap berada di bawah naungan Depag, tetapi diterapkan kebijakan baru. Kalau dulu madrasah murni dikelola oleh Depag pusat, tetapi sekarang diberlakukan kebijakan “dekonsentrasi” artinya, kewenangan-kewenangan penyelenggaraan madrasah yang semula dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat maka sebagian dapat diturunkan ke daerah. Ini terutama menyangkut masalah-masalah teknis di lapangan yang berkaitan dengan sumber anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). baca selengkapnya Read the rest of this entry

Kevaliditasan Ujian Nasional


(Artikel ini telah dimuat dalam Wacana Nasional Harian Suara Merdeka, 11 April 2011)
          PELAKSANAAN ujian nasional (UN) 2011 sudah di ambang pintu, untuk tingkat SMA/MA/ SMK dilaksanakan tanggal 18-21 April, SMP/MTs 25-28 April, dan SD/MI 10-12 Mei mendatang. Berdasarkan prosedur operasi standar (POS) yang dikeluarkan BSNP, pelaksanaan UN tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan itu antara lain dalam hal kriteria lulusan, ketiadaan ujian ulangan, ketiadaan tim pengawas independen, jumlah paket soal, dan akan diadakannya uji petik di lapangan.
        Meski muncul pro-kontra dari kalangan akademisi dan pendidik, UN tetap dilaksanakan dengan alasan bahwa pemerintah perlu mengetahui tingkat pencapaian kompetensi lulusan secara nasional, khususnya pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana dijelaskan dalam POS UN bahwa kelulusan peserta didik ditentukan oleh satuan pendidikan berdasarkan rapat dewan guru dengan menggunakan beberapa kriteria.
          Sebenarnya setiap satuan pendidikan memiliki wewenang penuh untuk meluluskan peserta didiknya, namun pemerintah juga memiliki intervensi penuh untuk mengendalikan sistem tersebut melalui kriteria kelulusan. Pertanyaannya adalah sejauhmana tingkat validitas sistem evaluasi yang dilakukan satuan pendidikan? baca selengkapnya Read the rest of this entry

Madrasah Menggugat Otonomi Daerah


MADRASAH “MENGGUGAT” OTONOMI DAERAH
Oleh : Yusuf Hasyim
(Artikel ini telah dimuat di Kolom Wacana Nasional Harian Umum Suara Merdeka Senin, 2 Juni 2008)
Otonomi daerah sudah berjalan kurang lebih delapan tahun sejak pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004. Banyak harapan adanya perubahan yang lebih baik, tetapi banyak pula kekhawatiran serta tuntutan yang berkembang yang seringkali menimbulkan kontroversi. Perbedaan antar daerah dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah masih menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih kompleks.
Salah satu contoh adalah masalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Dalam bidang pendidikan, desentralisasi bermakna pelimpahan kewenangan seluruh urusan bidang pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintahan pusat beralih pada pemerintahan daerah baik kabupaten maupun kota.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat, selain itu juga sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum dan dapat juga ditujukan sebagai sarana peningkatan efisiensi pemerataan pendidikan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas.
Namun, kenyataan di lapangan masih ditemukan beberapa masalah daerah dalam menerima desentralisasi pendidikan : Pertama, kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusia di beberapa daerah masih belum memadai. Kedua, sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan layak. Ketiga, Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) antar daerah tidak sama. Keempat, secara psikologis, mental daerah belum siap menghadapi sebuah perubahan. Kelima, daerah masih gamang atau takut terhadap upaya-upaya pembaruan. Read the rest of this entry

Rekonstruksi Metodologis PAI


REKONSTRUKSI METODOLOGIS
PEMBELAJARAN PAI DI MADRASAH
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I
Tulisan ini berawal dari keprihatinan beberapa guru madrasah terhadap kondisi pendidikan yang kering dari nilai-nilai budi pekerti. Ironisnya, kondisi ini juga terjadi di lembaga pendidikan Islam (madrasah) sebagai basis pendidikan agama. Hal ini bisa dilihat dari lemahnya implementasi nilai-nilai agama dan budi pekerti yang diajarkan melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Dewasa ini kita masih sering menjumpai perilaku dan karakteristik siswa madrasah yang kurang menunjukkan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pendidikan Agama Islam.

Azzumardi Azra (2001;84) melihat ada beberapa persoalan yang muncul dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam sekarang ini antara lain adalah terjadinya krisis metodologi dan krisis paedagogik. Pola pelaksanaan pendidikan yang terjadi lebih merupakan proses teaching (pengajaran), daripada proses learning (pendidikan) dan hanya mengisi aspek kognitif-intelektual, tapi tidak mengisi aspek pembentukan pribadi dan watak. baca selengkapnya.. Read the rest of this entry

dinamika sistem pendidikan pesantren


Model Penelitian Kultur Pendidikan Islam Dr. Mastuhu Tentang
“DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN”
oleh : Yusuf Hasyim
A.Latar Belakang
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fiddin dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan masyarakat.[1] Hal ini sesuai dengan hakekat sistem pendidikan nasional yang juga mencari nilai tambah melalui pembinaan dan pengembangan SDM secara utuh; jasmaniah dan rohaniah, agar mampu melayani kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan & teknologi. Maka dari itu upaya pengembangan sistem pendidikan nasional harus dilaksanakan bertolak dari kandungan nilai-nilai sosial budaya bangsa.
Pesantren telah terbukti mampu hidup menyatu dengan masyarakat sekitarnya dalam bidang moral. Namun demikian tantangan nilai yang dihadapi pesantren sebagai akibat dari kemajuan di bidang komunikasi dan informasi yang terjadi pada sistem di luar pesantren telah memaksa pesantren mau tidak mau harus berhubungan atau berkomunikasi dengan berbagai sistem nilai di luarnya. Dunia pesantren berada dalam kehidupan berjuang antara mempertahankan identitasnya dan menghadapi nilai-nilai yang datang dari luar. [2] baca selengkapnya Read the rest of this entry